Dari pemetaan yang dilakukan sebelumnya, maka akan dianalisis hubungan antara variabel konflik yang sudah dipaparkan di dalam Bab II dengan tingkat konflik yang sudah dipaparkan dalam bab III. Diharapkan dalam akan bisa didapatkan pola hubungan antara variabel penyebab konflik dengan proses ekskalasi konflik, baik dari arah debates, games sampai ke wars ataupun dari wars, games ke debates.
Dalam analisis ini akan dikategorikan tingkat konflik dengan istilah intensif, dinyatakan konflik intensif jika konflik lebih dari 3 kali muncul di wilayah negara di Timur Tengah, dan dinyatakan kurang intensif jika tingkat konflik hanya terjadi kurang dari wilayah negara di Timur Tengah. Sedangkan jika tidak ditemukan hubungan yang jelas maka akan dipergunakan istilah tidak jelas.
Hubungan Antara Tekstur Wilayah dengan Konflik
Dari sisi tekstur geografis pantai, terdapat kecenderungan tingkat konflik menunjukkan gejala yang intensif. Hal ini bisa dilihat dinamika konflik dari negara Arab Saudi dengan dinamika konflik pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) yang kemudian berkembang juga kelompok Ikhwan, kelompok al-Qaeda yang sangat sering terjadi polemik pemikiran. Arab Saudi sebagai negara yang besar juga senantiasa memberikan ruang konflik, sehingga Arab Saudi merasa sangat khawatir terhadap pengaruh pemikiran Syi’ah yang sebenarnya secara wilayah tidak berbatasan langsung.
Yaman, yang langsung berbatasan dengan Arab Saudi dan Oman di sebelah Barat, dan berbatasan dengan laut Merah serta Ethipia di Afrika memiliki konflik dalam tingkat debate juga sangat tampak, Yaman selatan banyak diwarnai pemikiran Sosialis, sedangkan utara banyak diwarnai pemikiran konservatif sebagaimanadi Arab Saudi, yang mana pada akhirnya menyebabkan perang etnis, antara kelompok di sebelah Selatan dan Utara.
Mesir sebagai daerah pantai juga sangat intensif dalam dinamika konflik, baik dari sisi pemikiran sampai melibatkan dalam berbagai perang di Arab. Dari sisi pemikiran Mesir merupakan negara yang pernah mempraktekkan berbagai ragam pemikiran, dari berbasis pemikiran keislaman, sosialis, kapitalis bahkan mencampu pemikiran tersebut. Mesir juga difahami sebagai gudang lahirnya gerakan pemikiran besar, baik dari sisi keislaman seperti Hasan al-Banna, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Hasan Hanafi, ataupun pemikiran nasionalis gaya Gamal Abdul Nasser. Mesir juga banyak melibatkan diri dalam tingkat konflik games, maupun wars. Mesir bahkan terlibat dalam perang Arab Israel lebih dari 2 di 1956 dan 1967.
Sedangkan di negara berbasis gurun gejala konflik dalam tingkat debates dan wars ada kecenderungan kurang intensif. Hampir tidak ditemukan konflik yang berarti seperti perang langsung secara terbuka, kalaupun terjadi perang hanya terlibat dalam perang kolektif dengan Israel yang lebih mengedepankan ikatan emosional Arab saja. Namun jika negara berbasis gurun tersebut memiliki sedikit akses pantai, maka ada kecenderungan negara tersebut akan intensif melakukan konflik. Hal ini bisa dilihat di negara Iraq yang pola konfliknya dalam 3 dekade terakhir terlibat dalam konflik secara konfrontatif, yakni perang teluk I (Iran-Iraq), Perang teluk II (Iraq-Kuwait) dan perang teluk III (Iraq-Amerika Serikat). Negara berbasis gurun cenderung memilih konflik dalam bentuk games, di mana ditandai oleh gejala-gejala konflik untuk senantiasa waspada terhadap segala kemungkinan. Hal ini bisa dilihat dari sisi alokasi anggaran untuk militer, negara berbasis pantai mengalokasikan anggaran lebih dari 7% bahkan sampai 20%, sedangkan negara berbasis gurun rata 5%-7%, yang jika dibandingkan dengan wilayah lain jauh lebih tinggi.[1]
Tabel 23
Hubungan Tingkat Konflik Dengan Tekstur Geografis
Setting Geografis | Tingkat Konflik | ||
Debates | Games | Wars | |
1. Tekstur Geografis | |||
a. Pantai | Intensif | Intensif | Intensif |
b. Gurun | Kurang Intensif | Intensif | Kurang Intensif |
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Hubungan Antara Iklim dengan Konflik
Sejauh yang diamati dari berbagai sumber faktor iklim belum tampak hubungan yang positif ataupun negatif dalam konteks tingkat konflik. Artinya semakin stabil iklim suatu wilayah tertentu belum tentu berkorelasi dengan semakin stabilnya masyarakat, demikian pula sebaliknya. Arab Saudi , Jordania dan Iraq merupakan wilayah yang memiliki iklim relatif stabil namun dalam batas tertentu negara ini sering terlibat dalam konflik. Namun ini bukan berarti semakin stabil iklim suatu negara, maka negara tersebut akan melakukan konflik.
Tabel 24
Hubungan Tingkat Konflik Dengan Iklim
Setting Geografis | Tingkat Konflik | ||
Debates | Games | Wars | |
2. Iklim | |||
a. Tidak Stabil | Tak jelas | Tak Jelas | Tak Jelas |
b. Stabil | Tak jelas | Tak Jelas | Tak Jelas |
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Hubungan Antara Unsur Demografis dengan Konflik
Dari sisi kepadatan penduduk tampaknya ada gejala yang menarik. Daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi ternyata memiliki peluang yang besar untuk mengapresiasi konflik. Kepadatan yang dimaksud disini disamping dilihat dari sisi kuantitas, juga dilihat dari sisi multi kulturalis. Israel dan Palestina merupakan kawasan yang sangat rawan konflik, dan mau tidak mau harus berkonflik karena terkepung oleh lingkaran negara yang tidak ramah dengan Israel ataupun palestina yang setiap saat harus menghadapi peminggiran demografi oleh Israel. Dengan kepadatan yang tinggi Israel harus memperluas wilayah dengan melakukan kebijakan pendudukan dan ekspansi.
Demikian pula, di negara Iraq sebagai negara yang sebagian besar berbasis gurun, maka mau tidak mau pemerintah harus membuka akses bagi warga negara untuk melakukan migrasi di sekitar wilayah Iraq yang memiliki tingkat kemakmuran yang lebih baik. Ataupun Iraq harus siap melakukan kebijakan invasi guna memenuhi kepentingan nasional yang belum bisa terpenuhi. Setidaknya alasan inilah yang mengilhami Saddam Hussein untuk melakukan perang dengan Kuwait. Pemerintah Iraq juga harus bekerja keras agar tetap mendapat suplai air dari sungai Eufrat dan Tigris, yang sumbernya berada di wilayah Turki. Demikian langkah ini juga banyak ditempuh oleh negara Suriah.
Lebanon merupakan contoh yang menarik, dengan kepadatan yang sangat tinggi karena wilayah ini sangat nyaman dengan iklim yang stabil, sehingga negara ini memiliki etnis yang beragam. Setelah Lebanon diguncang konflik yang sangat mematikan di dekade 1980-an, maka pemerintah kemudian menerapkan pola pengelolaan kekuasaan secara bergulir. Dalam batas tertentu formula ini cukup memberikan pengaruh positif bagi munculnya konflik dalam bentuk wars.
Negara dengan kepadatan yang rendah dalam batas tertentu belum menunjukkan konflik yang berarti, meskipun negara ini berbasis pantai. Negara Qatar, Oman, Bahrain, Emirat Arab merupakan wilayah negara yang jarang sekali terjadi konflik yang monumental.
Tabel 25
Hubungan Tingkat Konflik Dengan Unsur Demografis
Setting Geografis
| Tingkat Konflik | ||
Debates | Games | Wars | |
3. Demografi | |||
a. Padat | Intensif | Intensif | Intensif |
b. Kurang Padat | Kurang Intensif | Kurang Intensif | Kurang Intensif |
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Hubungan Antara Unsur Agama dengan Konflik
Tabel 26
Hubungan Tingkat Konflik Dengan Agama
Setting Geografis | Tingkat Konflik | ||
Debates | Games | Wars | |
4. Agama | |||
a. Islam-Islam | Intensif | Kurang Intensif | Intensif |
b. Yahudi-Islam | Intensif | Intensif | Intensif |
c. Nasrani-Islam | Kurang intensif | Kurang intensif | Kurang intensif |
d. Nasrani-Islam-
Yahudi
| Intensif | Intensif | Intensif |
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Konflik sebagai hasil interaksi antar sesama umat Islam dalam batas tertentu cenderung mewarnai konflik di Timur tengah, hal ini dalam batas tertentu bisa difahami karena populasi umat islam di Timur tengah sampai angka 93%.[2] Namun kita juga harus melibat potret secara seksama bahwa memang ada persoalan yang sangat akut antar umat islam sendiri. Konflik antara Iraq-Iran, Kuwait-Iraq, antar faksi di Palestina, antar kelompok keagamaan di Arab-Saudi maupun Mesir merupakan potret konflik yang cenderung berekskalasi ke arah tingkat perang.
Konflik Sunni Syiah tidak hanya dalam batas debate semata, namun lebih jauh sampai ke tingkat perang, bahkan sampai melibatkan konflik di kawasan Arab maupun diluar Arab. Efek dari perang Iraq-Iran difahami sebagai konflik bawaan yang telah diwariskan umat islam semenjak abad ke 8 Masehi yang sampai abad 21 belum terselesaikan dengan baik. Meskipun konflik Iran-Iraq telah berakhir di 1988, namun bukan berarti konflik berbasis Sunni-Syi’ah telah berakhir sama sekali. Meskipun dalam batas tertentu telah mengalami pengurangan yang signifikan dengan diterima presiden Khatami sebagai ketua OKI.[3]
Konflik diberbagai wilayah Islam sebagai representasi faksi dalam pemikiran Islam juga terus terjadi dengan intensif. Mesir merupakan sebuah mosaik bagaimana banyaknya pemikiran keislaman yang berkembang di abad 20 namun menimbulkan gejala yang tidak sehat, berupa kafir-mengkafirkan. Inilah yang kemudian mengilhami Ikhwanul Muslimin membangun model pemikiran jalan tengah,[4] meski di tengah jalan pemikiran jalan tengah Ikhwanul Muslimin dipaksa untuk dieliminasi karena dianggap sebagai embrio gerakan esktrim. Konflik pemikiran Islam di Palestina antara kubu nasionalis dan fundamentalis pernah terjadi, yang sebanranya lebih disebabkan karena pilihan dilematis yang harus diterima ketika sebagian umat Islam melakukan konsesi perjanjian dengan Israel.
Sedangkan konflik Islam dengan Yahudi sebelum menjadi konflik sudah menahun, semenjak jaman Nabi Muhammad SAW. Konflik dengan Yahudi sudah mereda tatkala umat Yahudi terdiaspora ke mana, menyebar ke seluruh dunia untuk mencari tempat bermukim. Konflik menjadi mengemuka tatkala Theodore Herzl mendeklarasikan program pulang kembalike tanah air mereka dalam konteks untuk menetap, bukan hanya ziarah saja. Meskipun konflik ini hanya terjadi di satu kawasan yakni di Palestina, namun posisi Palestina dalam pandangan Islam dan Arab merupakan tempat yang sangat monumental. Sehingga konfliknya berekskalasi sampai membesar, sehingga melahirkan konflik yang sangat kompleks yang dikenal dengan konflik Arab-Israel.[5]
Dalam kurun 1980-an, sebenarnya intensitas konflik Arab Israel menunjukkan pola penurunan semenjak Mesir melakukan perjanjian Cam David, namun di satu sisi Israel menunjukkan gejala sebaliknya. Peristiwa yang sangat mengerikan yakni terjadi nya pembantaian kaum muslimin Arab di Sabra dan Satila di 1988. Yang bersamaan itu lahirlah gerakan perlawanan Islam yang masif untuk melakukan serangkaian perlawanan. Gerakan intifadha adalah gerakan yang lahir sebagai reaksi terhadap tindakan represif Israel.
Karena tindakan represif Israel tidak terhenti, maka gerakan Intifadha yang sebelumnya direpresentasikan sebagai gerakan non kekerasan, yakni melawan Israel dengan ketapel dan lemparan batu, maka di 1994-an mulai muncul modus baru perlawanan terhadap Israel dengan tindakan “bom syahid”. Bagi Israel tindakan bom bunuh diri ini diyakini sebagai tindakan kontra represif, yang kemudian mengakibatkan regim yang berkuasapun semakin mengental dengan politik kekerasannya. Benyamin Netanyahu yang diyakini sebagai perdana menteri yang sangat keras kepada pejuang Palestina, ternyata masih dianggap kurang keras, sehingga muncullah sosok Ariel Sharon yang sangat keras.
Konflik ini kemudian tidak hanya melibatkan Yahudi yang berada Timur Tengah saja, namun juga melibatkan kekuatan Yahudi yang berada di Amerika Serikat dalam bentuk ikatan lobby yang tergabung dalam AIPAC. Demikian pula tindakan diskriminatif Yahudi juga tidak hanya berlaku di Palestina, namun juga di daerah-daerah di mana lobi yahudi sangat berpengaruh. Demikian sebaliknya, sentimen anti yahudipun berkembang di seantero dunia islam. Penolakan kepada produk dan pejabat Yahudi sedemikian merebak di mana-mana.
Sedangkan tingkat konflik antara Islam dan Nasrani relatif tidak banyak tercermin di Timur Tengah. Kalaupun ada konflik, hanya di beberapa wilayah Lebanon saja. Kekuatan politik Nasrani kurang begitu berkembag di Timur Tengah, karena posisi tidak lebih dari 2% saja di hampir semua negara, kecuali di Lebanon yang mencapai 15%.
[1] Negara di luar kawasan Timur Tengah mengalokasikan anggaran militer hanya sekitar 3-5%. Lihat lebih jauh dalam fact and profile dalam Microsoft Encarta Encyclopedia 2004.
[2] Lihat lebih dalam ibid., khususnya tingkat posisi umat islam per negara.
[3] Fakta ini tergolong monumental karena selama ini ketua OKI hampir semua dijabat oleh orang Sunni.
[4] Hal ini tidak lepas dari pandangan Hasan al Banna yang mendefinsiikan Islam sebagai agama wasathan, yang dikemudian pemikiran ini dituangkan oleh generasi berikutnya yakni Yusuf Qardhawy yang menulis buku Fiqh Ikhtilaf.
[5] Lihat lebih jauh kompleksnya konflik Arab Israel dalam Robert B. Satloff, The Politics of Change in the Middle East, Boulder, Westview Press, 1993 atau dalam T.G Fraser, The Arab-Israel Conflict, London, MacMillan Press Ltd, 1995
http://surwandono.staff.umy.ac.id/2010/06/27/analisis-relasi-geografi-dengan-konflik/